Terkait dengan hukum gambar
menggambar maupun foto maka
diperlukan suatu rincian,
Pertama, telah menjadi hal yang
qath’i (pasti), secara asal haram
hukumnya aktivitas menggambar/
melukis, yaitu bertolak dari hadits-
hadits Nabi Shallallahu ‘aliahi
wasallam sebagai berikut:
1. “Adzab yang paling pedih di hari
kiamat (akan ditimpakan pada)
para pelukis/penggambar” .
dalam riwayat yang lain dengan
redaksi, “Adzab yang paling pedih
di hari kiamat (akan ditimpakan
pada) menandingi ciptaan
Allah” [ Muttafaqun ‘alaih ]
2. “Sesungguhnya pembuat
gambar-gambar ini diadzab pada
hari kiamat, dikatakan pada
mereka: hidupkanlah apa yang
telah kau ciptakan” [HR.
Bukhari, Muslim, Ashhabu as-
Sunan ]
Kedua , kriteria gambar-gambar
yang diharamkan adalah sebagai
berikut:
1. Gambar/lukisan/patung yang
bernyawa, baik manusia maupun
hewan, berdasarkan hadits Nabi
Shallallahu ‘aliahi
wasallam :“Sesungguhnya
malaikat tidaklah masuk pada
rumah yang di dalamnya
terdapat anjing dan tamatsil
(gambar-gambar bernyawa)”[HR.
Muslim ]
2. Gambar yang dibuat dengan
tangan
(manual), yaitu sebagaimana nash-
nash yang sudah disebutkan di atas.
Berkata Imam al-Alusi dalam
kitabnya ”Bagi kami tiada
perbedaan antara gambar yang
memiliki bayangan maupun tidak
mempunyai, seperti bentuk
hewan yang digambar pada
kertas maupun terukir pada
tembok, hal itu telah
mendapatkan ancaman yang
keras dari syariat kita bagi
mereka pelukis/
pengukirnya” [Ruh al-Ma’ani,
22/199 ].
Ketiga , kriteria gambar yang
dibolehkan sebagai berikut:
1. Setiap gambar yang tidak
memiliki
nyawa seperti gambar benda-benda
padat, pegunungan, pepohonan,
planet-planet, bintang, lautan dan
sebagainya.
2. Setiap gambar yang putus-putus
tidak sempurna, sebagaiamana
hadits dari ‘Aisyah radhiyallaha
‘anha : “Nabi Shallallahu ‘aliahi
wasallam memasuki rumahku dan
ketika itu aku bertutupkan kain
yang tipis terdapat gambar, maka
memerahlah wajahnya dan merobek
kain itu seraya berkata:
“ Sesungguhnya orang yang
paling berat adzabnya di hari
kiamat adalah yang
menyerupakan (menandingi)
ciptaan Allah” Aisyah berkata:
Maka akupun memotong kain itu
menjadi dua yang kemudian
dijadikan dua bantal, yang
kemudian keduanya menjadi tempat
beliau duduk bersandar”[ HR.
Muslim ].
Berkata al-Imam Ibn al-‘Arabi al-
Maliki rahimahullah :” Kemudian
dengan dipotongnya kain itu
menjadi dua bantal, berubahlah
gambar itu dari bentuk yang
sempurna, sehingga kebolehan
gambar tersebut jika putus-
putus tidak sempurna, adapun
jika sebaliknya maka tidak
dibolehkan ” [Ahkam al-Qur’an/
Juz 3 ].
1. Mainan anak-anak perempuan
(boneka), Dari ‘Aisyah radhiyallaha
‘anha , Bahwasanya Nabi
Shallallahu ‘aliahi wasallam
menikahinya ketika aisyah berumur
tujuh tahun, dan digauli serta
bermain dengannya ketika umur
sembilan tahun, kemudian
Rasulullah wafat sedang aisyah
berumur delapan belas tahun [HR.
Muslim ]. Dan dari ‘Aisyah ia
berkata: Ketika aku hidup bersama
Nabi, aku sering bermain dengan
anak-anak perempuan lainnya,
karena dulu aku punya banyak
teman main, Dan ketika Rasulullah
masuk rumah mereka menjauh
darinya dan Rasululullah
memberikan mainan (boneka)
padaku untuk dibagikan mereka
yang bermain denganku. [HR.
Muslim ].
Berkata al-Hafizh Ibn Hajjar
rahimahullah setelah menjelaskan
perbedaan para ulama terhadap
hukum gambar dan sejenisnya:
“ dan yang dikecualikan adalah
mainan anak-anak
perempuan” [ Fath al-Bari ].
1. Gambar Fotografi, hal ini
dikarenakan hilangnya ‘ ilah (alasan
inti) pengharamannya, adapun ‘ilah
pengharaman gambar sebagaimana
dalam hadits ..”....mereka yang
menandingi ciptaan Allah” . Jenis
fotografi hakikatnya bukan
termasuk gambar dan berbeda dari
gambar, karena hal itu seperti
berkaca pada cermin ataupun air.
Bayangan pada cermin, air maupun
fotografi merupakan ciptaan Allah,
di mana pada fotografi bayangan
itu ditangkap dan ditahan.
Sehingga, tidak termasuk dari hal
yang menandingi ciptaan Allah.
Sebagaimana dalam kaidah
fiqhiyah : “ al-‘Ibratu bi al-haqaiq
wa al-ma’ani, la bi al-alfazh wa
al-mabani” (Pengetahuan itu
diambil dari hakikat dan maknanya,
bukan dari lafazh dan bentuknya”.
[lihat as-Syaikh al-Sayis, ayaat al-
Ahkaam 4/61 ]
Sebagaimana dikutip oleh as-Syaikh
Abu Hammam Bakr bin Abd al-‘Aziz
al-Atsariy, bahwa pernah syaikh
Abu Muhammad al-Maqdisi
Hafizhahullah dalam “al-Liqa al-
Maftuh” Forum Syumukh al-
Islam ditanya: “Wahai syaikh yang
kami cintai, ada seorang ikhwah
yang bertanya tentang gambar
(foto-foto) para ulama dan
mujahidin pada halaman situs-situs
forum Islam, bahkan pada baner
ataupun halaman muka terdapat di
sana seperti halnya, seperti pada
baner khusus “al-Liqa al-Maftuh”
yang disitu terdapat juga gambar
anda, dan kami sendiri tidak
pernah berfoto kecuali jika hendak
bepergian karena mendesak untuk
keperluan membuat paspor,
bagaimana penjelasan tentang hal
itu?”
Maka Syaikh Abu Muhammad
Hafizhahullah berkata,: “Dalam
hal ini saya mengikuti pendapat
bahwa hal tersebut (foto) bukan
termasuk dari gambar yang
diharamkan secara syar’i,
sebagaimana banyak hadits
melarangnya; karena foto
hakikatnya bayangan yang sama
persis dengan aslinya, seperti
yang terlihat pada cermin,
bukan gambar buatan yang
menandingi ciptaan
Allah” [ www.at-tawhed.ws ]
Walau demikian, jika
memungkinkan memang alangkah
lebih baiknya meninggalkan
bermudah-mudahan dalam perkara
gambar, hal itu sebagaimana
perkataan Sufyan menyikapi harta
yang diragukan: “Aku tidak merasa
takjub (tertarik) dengannya namun
aku lebih merasa takjub untuk
meninggalkannya”[ Jami’ al-‘Ulum
wa al-Hikam, 94]
Kesimpulannya, bahwa foto yang
terdapat dalam media seperti
majalah, koran, web dan lainnya
bukan termasuk gambar yang
diharamkan, tentunya selama hal
itu membawa maslahat dan bukan
gambar-gambar yang diharamkan
seperti wanita yang terbuka
auratnya. (Majelis Syari'ah JAT)
0 komentar:
Posting Komentar